1 |
2025-07-30 |
Wajah yang bercahaya |
Selamat pagi dan salam jumpa dalam Sari Firman: Memotivasi Diri, Rabu, 30 Juli 2025. Wajah yang bercahaya (Keluaran 34:29-35). 34:29 Ketika Musa turun dari gunung Sinai--kedua loh hukum Allah ada di tangan Musa ketika ia turun dari gunung itu--tidaklah ia tahu, bahwa kulit mukanya bercahaya oleh karena ia telah berbicara dengan TUHAN. 34:30 Ketika Harun dan segala orang Israel melihat Musa, tampak kulit mukanya bercahaya, maka takutlah mereka mendekati dia. 34:31 Tetapi Musa memanggil mereka, maka Harun dan segala pemimpin jemaah itu berbalik kepadanya dan Musa berbicara kepada mereka. 34:32 Sesudah itu mendekatlah segala orang Israel, lalu disampaikannyalah kepada mereka segala perintah yang diucapkan TUHAN kepadanya di atas gunung Sinai. 34:33 Setelah Musa selesai berbicara dengan mereka, diselubunginyalah mukanya. 34:34 Tetapi apabila Musa masuk menghadap TUHAN untuk berbicara dengan Dia, ditanggalkannyalah selubung itu sampai ia keluar dan apabila ia keluar dikatakannyalah kepada orang Israel apa yang diperintahkan kepadanya. 34:35 Apabila orang Israel melihat muka Musa, bahwa kulit muka Musa bercahaya, maka Musa menyelubungi mukanya kembali sampai ia masuk menghadap untuk berbicara dengan TUHAN. |
Dua pokok permenungan yang dapat diambil dari bacaan hari ini, Keluaran 34:29–35: Pertama, wajah yang bercahaya. Dalam ayat 29 dilukiskan wajah Musa demikian: “Ketika Musa turun dari gunung Sinai--kedua loh hukum Allah ada di tangan Musa ketika ia turun dari gunung itu--tidaklah ia tahu, bahwa kulit mukanya bercahaya oleh karena ia telah berbicara dengan TUHAN.” Ketika Musa turun dari gunung, ia tidak sadar bahwa wajahnya bercahaya. Wajah Musa yang bercahaya merupakan buah dari relasinya yang mendalam dengan Tuhan. Musa memantulkan kemuliaan Tuhan sebab Musa sungguh-sungguh berada dalam hadirat-Nya. Hal ini sesungguhnya menjelaskan bahwa perjumpaan yang otentik dengan Allah akan memancarkan buah yang nyata. Kemuliaan tidak dibuat, tetapi dipantulkan. Sebab hanya Tuhan yang mulia. Kedua, selubung wajah. Dalam ayat 33 dikatakan: “Setelah Musa selesai berbicara dengan mereka, diselubunginyalah mukanya.” Musa menyelubungi wajahnya setelah berbicara dengan bangsa Israel. Hal ini dilakukan Musa sebab mereka takut melihat cahaya kemuliaan Tuhan yang terpancar dari wajah Musa. Selubung itu menggambarkan bahwa sesungguhnya Allah ingin dekat dengan manusia, namun manusia sering takut pada kehadiran-Nya. Selubung tersebut menjadi tanda kerahiman: Allah menyampaikan firman-Nya dalam cara yang bisa diterima manusia. Salam, doa dan berkat Allah Tritunggal Mahakudus menyertaimu semua (Norbert Labu, Pr). |
Lihat Detail |
2 |
2025-07-31 |
Ketaatan |
Selamat pagi dan salam jumpa dalam Sari Firman: Memotivasi Diri, Kamis, 31 Juli 2025. Ketaatan (Keluaran 40:16-21,34-38). 40:16 Dan Musa melakukan semuanya itu tepat seperti yang diperintahkan TUHAN kepadanya, demikianlah dilakukannya. 40:17 Dan terjadilah dalam bulan yang pertama tahun yang kedua, pada tanggal satu bulan itu, maka didirikanlah Kemah Suci. 40:18 Musa mendirikan Kemah Suci itu, dipasangnyalah alas-alasnya, ditaruhnya papan-papannya, dipasangnya kayu-kayu lintangnya dan didirikannya tiang-tiangnya. 40:19 Dikembangkannyalah atap kemah yang menudungi Kemah Suci dan diletakkannyalah tudung kemah di atasnya--seperti yang diperintahkan TUHAN kepada Musa. 40:20 Diambilnyalah loh hukum Allah dan ditaruhnya ke dalam tabut, dikenakannyalah kayu pengusung pada tabut itu dan diletakkannya tutup pendamaian di atas tabut itu. 40:21 Dibawanyalah tabut itu ke dalam Kemah Suci, digantungkannyalah tabir penudung dan dipasangnya sebagai penudung di depan tabut hukum Allah--seperti yang diperintahkan TUHAN kepada Musa. 40:34 Lalu awan itu menutupi Kemah Pertemuan, dan kemuliaan TUHAN memenuhi Kemah Suci, 40:35 sehingga Musa tidak dapat memasuki Kemah Pertemuan, sebab awan itu hinggap di atas kemah itu, dan kemuliaan TUHAN memenuhi Kemah Suci. 40:36 Apabila awan itu naik dari atas Kemah Suci, berangkatlah orang Israel dari setiap tempat mereka berkemah. 40:37 Tetapi jika awan itu tidak naik, maka merekapun tidak berangkat sampai hari awan itu naik. 40:38 Sebab awan TUHAN itu ada di atas Kemah Suci pada siang hari, dan pada malam hari ada api di dalamnya, di depan mata seluruh umat Israel pada setiap tempat mereka berkemah. |
Dua pokok permenungan yang dapat diambil dari bacaan hari ini, Keluaran 40:16–38: ketaatan. Dalam ayat 16 dicatat: “Musa melakukan semuanya itu tepat seperti yang diperintahkan TUHAN kepadanya, demikianlah dilakukannya.” Kalimat ini tampaknya sangat biasa. Namun sesungguhnya di balik kalimat ini ada kekuatan yang luar biasa, yaitu ketaatan total. Musa bekerja tanpa komentar, tanpa diskusi, tanpa tawar-menawar kepada Tuhan. Ketaatan ini menghasilkan bangunan kemah suci dengan struktur tertentu sesuai yang disampaikan Tuhan dan di dalamnya kemuliaan Allah hadir secara nyata, seperti yang dikatakan dalam ayat 34–35: “Lalu awan itu menutupi Kemah Pertemuan, dan kemuliaan TUHAN memenuhi Kemah Suci, sehingga Musa tidak dapat memasuki Kemah Pertemuan, sebab awan itu hinggap di atas kemah itu, dan kemuliaan TUHAN memenuhi Kemah Suci.” Kisah ini dapat dijadikan inspirasi dalam pengembangan hidup rohani. Sering kita berusaha mencari pengalaman spiritual yang ‘luar biasa’ tanpa terlebih dahulu berlatih setia dalam hal-hal kecil. Sesungguhnya dalam ketaatan harian yang tersembunyi, sederhana dan konsisten, Allah menyatakan diri-Nya. Kedua, diam dan mengikuti ritme Allah. Dalam ayat 36-38 dijelaskan: “Apabila awan itu naik dari atas Kemah Suci, berangkatlah orang Israel dari setiap tempat mereka berkemah. Tetapi jika awan itu tidak naik, maka merekapun tidak berangkat sampai hari awan itu naik. Sebab awan TUHAN itu ada di atas Kemah Suci pada siang hari, dan pada malam hari ada api di dalamnya, di depan mata seluruh umat Israel pada setiap tempat mereka berkemah.” Awan menjadi tanda kehadiran Allah sekaligus petunjuk perjalanan bagi umat Israel. Mereka hanya boleh berjalan jika awan itu naik, dan harus tinggal jika awan itu diam. Ini adalah bentuk bimbingan ilahi yang tidak bisa dikendalikan atau diprediksi oleh manusia. Sebab Allah yang memimpin. Hidup bersama Allah berarti menerima dan hidup berdasarkan ritme-Nya, bukan memaksakan ritme kita untuk dihidupi. Kadang Allah tampak diam bukan karena Ia jauh, tapi karena Ia sedang menyuruh kita diam dan menunggu. Kadang Ia bergerak cepat, dan kita harus siap mengikuti-Nya. Orang percaya dapat hidup bersama dalam ritme Allah kalau cukup peka dan rendah hati menerima bimbingan Allah. Salam, doa dan berkat Allah Tritunggal Mahakudus menyertaimu semua (Norbert Labu, Pr). |
Lihat Detail |
3 |
2025-08-01 |
Liturgi waktu |
Selamat pagi dan salam jumpa dalam Sari Firman: Memotivasi Diri, Jumat, 01 Agustus 2025. Peringatan wajib St. Alfonsus Maria de Liguori. Liturgi waktu (Imamat 23:1,4-11,15-16,27,34b-37). 23:1 TUHAN berfirman kepada Musa: 23:4 Inilah hari-hari raya yang ditetapkan TUHAN, hari-hari pertemuan kudus, yang harus kamu maklumkan masing-masing pada waktunya yang tetap. 23:5 Dalam bulan yang pertama, pada tanggal empat belas bulan itu, pada waktu senja, ada Paskah bagi TUHAN. 23:6 Dan pada hari yang kelima belas bulan itu ada hari raya Roti Tidak Beragi bagi TUHAN tujuh hari lamanya kamu harus makan roti yang tidak beragi. 23:7 Pada hari yang pertama kamu harus mengadakan pertemuan kudus, janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan berat. 23:8 Kamu harus mempersembahkan korban api-apian kepada TUHAN tujuh hari lamanya pada hari yang ketujuh haruslah ada pertemuan kudus, janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan berat. 23:9 TUHAN berfirman kepada Musa: 23:10 Berbicaralah kepada orang Israel dan katakan kepada mereka: Apabila kamu sampai ke negeri yang akan Kuberikan kepadamu, dan kamu menuai hasilnya, maka kamu harus membawa seberkas hasil pertama dari penuaianmu kepada imam, 23:11 dan imam itu haruslah mengunjukkan berkas itu di hadapan TUHAN, supaya TUHAN berkenan akan kamu. Imam harus mengunjukkannya pada hari sesudah sabat itu. 23:15 Kemudian kamu harus menghitung, mulai dari hari sesudah sabat itu, yaitu waktu kamu membawa berkas persembahan unjukan, harus ada genap tujuh minggu 23:16 sampai pada hari sesudah sabat yang ketujuh kamu harus hitung lima puluh hari lalu kamu harus mempersembahkan korban sajian yang baru kepada TUHAN. 23:27 Akan tetapi pada tanggal sepuluh bulan yang ketujuh itu ada hari Pendamaian kamu harus mengadakan pertemuan kudus dan harus merendahkan diri dengan berpuasa dan mempersembahkan korban api-apian kepada TUHAN. 23:34 Katakanlah kepada orang Israel, begini: Pada hari yang kelima belas bulan yang ketujuh itu ada hari raya Pondok Daun bagi TUHAN tujuh hari lamanya. 23:35 Pada hari yang pertama haruslah ada pertemuan kudus, janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan berat. 34:36 Tujuh hari lamanya kamu harus mempersembahkan korban api-apian kepada TUHAN, dan pada hari yang kedelapan kamu harus mengadakan pertemuan kudus dan mempersembahkan korban api-apian kepada TUHAN. Itulah hari raya perkumpulan, janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan berat. 34:37 Itulah hari-hari raya yang ditetapkan TUHAN, yang harus kamu maklumkan sebagai hari pertemuan kudus untuk mempersembahkan korban api-apian kepada TUHAN, yaitu korban bakaran dan korban sajian, korban sembelihan dan korban-korban curahan, setiap hari sebanyak yang ditetapkan untuk hari itu. |
Dua pokok permenungan yang dapat diambil dari bacaan hari ini, Imamat 23:1,4-11,15-16,27,34b-37: Pertama, liturgi waktu. Dalam perikope yang dibacakan hari ini, Tuhan menetapkan hari-hari raya dan menetapkan waktu yang pasti untuk setiap perayaan. Tuhan meminta umat-Nya untuk merayakan setiap hari raya pada saat yang tetap, dan dengan bentuk ibadah yang ditentukan. Di sini ditunjukkan bahwa waktu merupakan ruang suci di mana Allah hadir dan menyapa umat-Nya. Pada waktu ini Allah mengundang kita berhenti untuk berjumpa dengan-Nya. Perayaan-perayaan ilahi merupakan saat pembentukan spiritualitas, agar orang percaya hidup tidak hanya menurut jam dunia, tetapi menurut kalender Kerajaan Allah. Kedua, persembahan kepada Tuhan. Dalam ayat 15-16, Tuhan memerintahkan agar hasil pertama dari panen dipersembahkan sebelum umat menikmati hasilnya sendiri. Sesungguhnya Tuhan tidak membutuhkan gandum atau sajian, namun Tuhan ingin menanamkan kesadaran rohani akan sumber segala berkat. Tuhan mengingatkan setiap orang percaya bahwa semua panen adalah pemberian-Nya. Persembahan sulung bukan sekadar ritual, tetapi tindakan iman dan pengakuan bahwa manusia hanyalah pengelola, dan Tuhanlah pemilik semuanya itu. Persembahan sulung merupakan bentuk nyata dari hidup yang penuh syukur dan tahu diri. Salam, doa dan berkat Allah Tritunggal Mahakudus menyertaimu semua (Norbert Labu, Pr). |
Lihat Detail |
4 |
2025-08-02 |
Tahun Yobel |
Selamat pagi dan salam jumpa dalam Sari Firman: Memotivasi Diri, Sabtu, 02 Agustus 2025. Sabtu Imamat. Tahun Yobel (Imamat 25:1,8-17). 25:1 TUHAN berfirman kepada Musa di gunung Sinai: 25:8 Selanjutnya engkau harus menghitung tujuh tahun sabat, yakni tujuh kali tujuh tahun sehingga masa tujuh tahun sabat itu sama dengan empat puluh sembilan tahun. 25:9 Lalu engkau harus memperdengarkan bunyi sangkakala di mana-mana dalam bulan yang ketujuh pada tanggal sepuluh bulan itu pada hari raya Pendamaian kamu harus memperdengarkan bunyi sangkakala itu di mana-mana di seluruh negerimu. 25:10 Kamu harus menguduskan tahun yang kelima puluh, dan memaklumkan kebebasan di negeri itu bagi segenap penduduknya. Itu harus menjadi tahun Yobel bagimu, dan kamu harus masing-masing pulang ke tanah miliknya dan kepada kaumnya. 25:11 Tahun yang kelima puluh itu harus menjadi tahun Yobel bagimu, jangan kamu menabur, dan apa yang tumbuh sendiri dalam tahun itu jangan kamu tuai, dan pokok anggur yang tidak dirantingi jangan kamu petik buahnya. 25:12 Karena tahun itu adalah tahun Yobel, haruslah itu kudus bagimu hasil tahun itu yang hendak kamu makan harus diambil dari ladang. 25:13 Dalam tahun Yobel itu kamu harus masing-masing pulang ke tanah miliknya. 25:14 Apabila kamu menjual sesuatu kepada sesamamu atau membeli dari padanya, janganlah kamu merugikan satu sama lain. 25:15 Apabila engkau membeli dari sesamamu haruslah menurut jumlah tahun sesudah tahun Yobel, dan apabila ia menjual kepadamu haruslah menurut jumlah tahun panen. 25:16 Makin besar jumlah tahun itu, makin besarlah pembeliannya, dan makin kecil jumlah tahun itu, makin kecillah pembeliannya, karena jumlah panenlah yang dijualnya kepadamu. 25:17 Janganlah kamu merugikan satu sama lain, tetapi engkau harus takut akan Allahmu, sebab Akulah TUHAN, Allahmu. |
Dua pokok permenungan yang dapat diambil dari bacaan hari ini, Imamat 25:1–17: Pertama, Tahun Yobel. Dalam ayat 10 dan 13 dikatakan: “Kamu harus menguduskan tahun yang kelima puluh, dan memaklumkan kebebasan di negeri itu bagi segenap penduduknya. Itu harus menjadi tahun Yobel bagimu, dan kamu harus masing-masing pulang ke tanah miliknya dan kepada kaumnya. Dalam tahun Yobel itu kamu harus masing-masing pulang ke tanah miliknya.” Tahun Yobel adalah waktu kudus, saat semua tanah dikembalikan kepada pemiliknya, semua orang pulang ke miliknya, dan semua hutang serta perbudakan dihentikan. Tuhan menetapkan hal ini bukan sebagai kebijakan ekonomi biasa, tetapi sebagai sebuah tindakan ilahi untuk memulihkan tatanan yang benar, agar tak ada orang yang terus-menerus tertindas atau kehilangan identitasnya. Dalam tahun Yobel manusia belajar bahwa dalam pandangan Allah, tidak ada kepemilikan yang mutlak selain milik-Nya sendiri. Semua yang kita kuasai adalah titipan yang harus dijalankan dengan keadilan dan belas kasih. Allah memanggil setiap kita untuk berani kembali pada asal: kepada identitas kita sebagai anak-anak-Nya, kepada komunitas, dan kepada keadilan. Kedua, sangkakala Yobel. Dalam ayat 9 dikatakan: “Lalu engkau harus memperdengarkan bunyi sangkakala di mana-mana dalam bulan yang ketujuh pada tanggal sepuluh bulan itu pada hari raya Pendamaian kamu harus memperdengarkan bunyi sangkakala itu di mana-mana di seluruh negerimu.” Pada hari ke-10 bulan ketujuh, pada Hari Pendamaian, sangkakala ditiup di seluruh negeri. Ini bukan sekadar seremoni simbolik—melainkan tanda nyata pembebasan atau suara pembebasan yang menentang ketamakan. Orang harus mengembalikan tanah atau melepaskan kuasa ekonomi yang mereka nikmati. Sangkakala Yobel adalah suara pembebasan yang menuntut pengorbanan nyata. Ia membebaskan yang tertindas, tetapi juga mengganggu yang nyaman. Suaranya mengingatkan bahwa kekudusan bukan hanya soal doa, tapi soal keadilan sosial dan perubahan struktur. Dalam dunia yang membungkam keadilan demi stabilitas, Allah justru meniup sangkakala yang memekakkan, supaya kita sadar: tanpa pembebasan, tak ada damai sejati. Salam, doa dan berkat Allah Tritunggal Mahakudus menyertaimu semua (Norbert Labu, Pr). |
Lihat Detail |
5 |
2025-08-03 |
Keresahan di malam hari |
Selamat pagi, selaamt hari Minggu dan salam jumpa dalam Sari Firman: Memotivasi Diri, Minggu, 03 Agustus 2025. Minggu ke-18. Keresahan di malam hari (Pengkotbah 1:2 2:21-23). 1:2 Kesia-siaan belaka, kata Pengkhotbah, kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia. 2:21 Sebab, kalau ada orang berlelah-lelah dengan hikmat, pengetahuan dan kecakapan, maka ia harus meninggalkan bahagiannya kepada orang yang tidak berlelah-lelah untuk itu. Inipun kesia-siaan dan kemalangan yang besar. 2:22 Apakah faedahnya yang diperoleh manusia dari segala usaha yang dilakukannya dengan jerih payah di bawah matahari dan dari keinginan hatinya? 2:23 Seluruh hidupnya penuh kesedihan dan pekerjaannya penuh kesusahan hati, bahkan pada malam hari hatinya tidak tenteram. Inipun sia-sia. |
Dua pokok permenungan yang dapat diambil dari bacaan pertama hari Minggu ini, Pengkhotbah 1:2 2:21–23: Pertama, kerja keras tanpa dasar yang benar adalah kesia-siaan. Dalam ayat 21 dikatakan: “Sebab, kalau ada orang berlelah-lelah dengan hikmat, pengetahuan dan kecakapan, maka ia harus meninggalkan bahagiannya kepada orang yang tidak berlelah-lelah untuk itu. Inipun kesia-siaan dan kemalangan yang besar.” Dalam ayat 21 ini, Pengkhotbah menggugat suatu kenyataan pahit: manusia bisa berlelah-lelah dengan hikmat, pengetahuan, dan kecakapan, tetapi pada akhirnya semua hasilnya diserahkan kepada orang lain, mereka yang mungkin tidak tahu betapa beratnya proses tersebut. Inilah gambaran kerja yang kehilangan makna karena dipisahkan dari tujuan sejati. Tanpa tujuan yang mendalam, kerja menjadi beban, bukan berkat dan bahkan bisa menjadi kemalangan yang besar. Pengkhotbah tidak meremehkan kerja keras. Pengkotbah menantang kita untuk mencari dasar yang benar agar kerja kita mempunyai makna yang bertahan bahkan setelah kita tiada. Kedua, keresahan di malam hari. Dalam ayat 23 dikatakan: “Seluruh hidupnya penuh kesedihan dan pekerjaannya penuh kesusahan hati, bahkan pada malam hari hatinya tidak tenteram. Inipun sia-sia.” Ayat 23 ini mencatat bahwa bahkan di malam hari, hati manusia tidak tenteram, walaupun ia telah bekerja keras sepanjang hari. Pengkotbah menyingkap krisis batin manusia segala zaman: kelelahan fisik dan spiritual namun kehilangan arah, kehilangan damai. Banyak orang hidup dalam kesibukan suci namun tidak pernah mengalami kedamaian. Waktu diisi penuh dengan kesibukan, namun jiwa kosong. Bahkan di malam hari, ketika tubuh ingin tidur, jiwa masih gelisah karena mengejar sesuatu yang tidak memberi kepenuhan sejati. Pengkhotbah mengajak kita untuk merenungkan hal ini: Apa gunanya semua ini jika malam-malam kita tetap gelisah, dan hati tetap kosong? Salam, doa dan berkat Allah Tritunggal Mahakudus menyertaimu semua (Norbert Labu, Pr). |
Lihat Detail |
6 |
2025-08-04 |
Kelelahan dan keluhan seorang pemimpin |
Selamat pagi dan salam jumpa dalam Sari Firman: Memotivasi Diri, Senin, 04 Agustus 2025. Peringatan wajib Santo Yohanes Maria Vianney. Kelelahan dan keluhan seorang pemimpin (Bilangan 11:4b-15). 11:4 Orang-orang bajingan yang ada di antara mereka kemasukan nafsu rakus dan orang Israelpun menangislah pula serta berkata: Siapakah yang akan memberi kita makan daging? 11:5 Kita teringat kepada ikan yang kita makan di Mesir dengan tidak bayar apa-apa, kepada mentimun dan semangka, bawang prei, bawang merah dan bawang putih. 11:6 Tetapi sekarang kita kurus kering, tidak ada sesuatu apapun, kecuali manna ini saja yang kita lihat. 11:7 Adapun manna itu seperti ketumbar dan kelihatannya seperti damar bedolah. 11:8 Bangsa itu berlari kian ke mari untuk memungutnya, lalu menggilingnya dengan batu kilangan atau menumbuknya dalam lumpang. Mereka memasaknya dalam periuk dan membuatnya menjadi roti bundar rasanya seperti rasa panganan yang digoreng. 11:9 Dan apabila embun turun di tempat perkemahan pada waktu malam, maka turunlah juga manna di situ. 11:10 Ketika Musa mendengar bangsa itu, yaitu orang-orang dari setiap kaum, menangis di depan pintu kemahnya, bangkitlah murka TUHAN dengan sangat, dan hal itu dipandang jahat oleh Musa. 11:11 Lalu berkatalah Musa kepada TUHAN: Mengapa Kauperlakukan hamba-Mu ini dengan buruk dan mengapa aku tidak mendapat kasih karunia di mata-Mu, sehingga Engkau membebankan kepadaku tanggung jawab atas seluruh bangsa ini? 11:12 Akukah yang mengandung seluruh bangsa ini atau akukah yang melahirkannya, sehingga Engkau berkata kepadaku: Pangkulah dia seperti pak pengasuh memangku anak yang menyusu, berjalan ke tanah yang Kaujanjikan dengan bersumpah kepada nenek moyangnya? 11:13 Dari manakah aku mengambil daging untuk diberikan kepada seluruh bangsa ini? Sebab mereka menangis kepadaku dengan berkata: Berilah kami daging untuk dimakan. 11:14 Aku seorang diri tidak dapat memikul tanggung jawab atas seluruh bangsa ini, sebab terlalu berat bagiku. 11:15 Jika Engkau berlaku demikian kepadaku, sebaiknya Engkau membunuh aku saja, jika aku mendapat kasih karunia di mata-Mu, supaya aku tidak harus melihat celakaku. |
Dua pokok permenungan yang dapat diambil dari bacaan hari ini, Bilangan 11:4–15: Pertama, nafsu rakus yang membutakan rasa syukur. Dalam ayat 4-1 orang Israel berkata: “Siapakah yang akan memberi kita makan daging? Kita teringat kepada ikan yang kita makan di Mesir dengan tidak bayar apa-apa, kepada mentimun dan semangka, bawang prei, bawang merah dan bawang putih. Tetapi sekarang kita kurus kering, tidak ada sesuatu apapun, kecuali manna ini saja yang kita lihat. Dalam ketiga ayat ini, orang Israel mengeluh karena bosan dengan manna, makanan surgawi yang secara ajaib turun setiap hari. Mereka merindukan ikan gratis, sayuran, dan bumbu-bumbu dari Mesir, tempat mereka dulu hidup sebagai budak. Dalam keluhan ini, terlihat sebuah paradoks: orang Israel memilih mengingat kenikmatan di tengah perbudakan dan melupakan penderitaannya. Keinginan yang tak terkendali (nafsu rakus) telah membelokkan ingatan mereka. Mereka lebih memilih daging walaupun diperbudak daripada manna dengan kebebasan. Mereka lupa bahwa ketika Tuhan memberi manna, Tuhan memberi pemeliharaan, perlindungan dan kasih. Tuhan tidak memberi kemewahan yang menindas. Nafsu rakus membutakan rasa syukur. Rasa syukur memampuan manusia menerima setiap pemberian sebagai anugerah, sebagai rahmat. Kedua, kelelahan dan keluhan seorang pemimpin. Dalam ayat 11 Musa berkata kepada Tuhan: “Mengapa Kauperlakukan hamba-Mu ini dengan buruk dan mengapa aku tidak mendapat kasih karunia di mata-Mu, sehingga Engkau membebankan kepadaku tanggung jawab atas seluruh bangsa ini?” sebagai pemimpin, Musa mengalami kelelahan baik secara fisik maupun secara psikis menanggung beban emosional dari seluruh bangsa. Seruan Musa kepada Tuhan sangat manusiawi: akukah yang melahirkannya? Kalimat ini menunjukkan betapa dalamnya kelelahan Musa. Musa lebih memilih mati daripada terus memikul beban itu sendiri. Ini adalah jeritan pemimpin yang merasa ditinggalkan, bahkan oleh Tuhan yang dilayani. Banyak pemimpin spiritual atau keluarga yang kelelahan dalam sunyi, merasa terjebak antara tanggung jawab besar dan perasaan ditinggalkan. Dalam Musa, kita melihat bahwa bahkan hamba Tuhan pun dapat merasa hancur dan kehilangan arah. Hal yang perlu diteladani dari Musa adalah Musa tidak menutupinya dengan pura-pura merasa kuat. Musa membawa keluhannya langsung kepada Tuhan. Musa berani dan jujur kepada Tuhan. Kelelahan bukanlah tanda kegagalan, tetapi undangan untuk bersandar lebih dalam pada-Nya. Salam, doa dan berkat Allah Tritunggal Mahakudus menyertaimu semua (Norbert Labu, Pr). |
Lihat Detail |
7 |
2025-08-05 |
Kecemburuan rohani dan sikap pemimpin sejati |
Selamat pagi dan salam jumpa dalam Sari Firman: Memotivasi Diri, Selasa, 05 Agustus 2025. Pemberkatan Gereja Basilika SP Maria. Kecemburuan rohani dan sikap pemimpin sejati (Bilangan 12:1-13). 12:1 Miryam serta Harun mengatai Musa berkenaan dengan perempuan Kush yang diambilnya, sebab memang ia telah mengambil seorang perempuan Kush. 12:2 Kata mereka: Sungguhkah TUHAN berfirman dengan perantaraan Musa saja? Bukankah dengan perantaraan kita juga Ia berfirman? Dan kedengaranlah hal itu kepada TUHAN. 12:3 Adapun Musa ialah seorang yang sangat lembut hatinya, lebih dari setiap manusia yang di atas muka bumi. 12:4 Lalu berfirmanlah TUHAN dengan tiba-tiba kepada Musa, Harun dan Miryam: Keluarlah kamu bertiga ke Kemah Pertemuan. Maka keluarlah mereka bertiga. 12:5 Lalu turunlah TUHAN dalam tiang awan, dan berdiri di pintu kemah itu, lalu memanggil Harun dan Miryam maka tampillah mereka keduanya. 12:6 Lalu berfirmanlah Ia: Dengarlah firman-Ku ini. Jika di antara kamu ada seorang nabi, maka Aku, TUHAN menyatakan diri-Ku kepadanya dalam penglihatan, Aku berbicara dengan dia dalam mimpi. 12:7 Bukan demikian hamba-Ku Musa, seorang yang setia dalam segenap rumah-Ku. 12:8 Berhadap-hadapan Aku berbicara dengan dia, terus terang, bukan dengan teka-teki, dan ia memandang rupa TUHAN. Mengapakah kamu tidak takut mengatai hamba-Ku Musa? 12:9 Sebab itu bangkitlah murka TUHAN terhadap mereka, lalu pergilah Ia. 12:10 Dan ketika awan telah naik dari atas kemah, maka tampaklah Miryam kena kusta, putih seperti salju ketika Harun berpaling kepada Miryam, maka dilihatnya, bahwa dia kena kusta! 12:11 Lalu kata Harun kepada Musa: Ah tuanku, janganlah kiranya timpakan kepada kami dosa ini, yang kami perbuat dalam kebodohan kami. 12:12 Janganlah kiranya dibiarkan dia sebagai anak gugur, yang pada waktu keluar dari kandungan ibunya sudah setengah busuk dagingnya. 12:13 Lalu berserulah Musa kepada TUHAN: Ya Allah, sembuhkanlah kiranya dia. |
Dua pokok permenungan yang dapat diambil dari bacaan hari ini, Bilangan 12:1–13: Pertama, kecemburuan rohani. Dalam ayat 1-2 dikatakan: “Miryam serta Harun mengatai Musa berkenaan dengan perempuan Kush yang diambilnya, sebab memang ia telah mengambil seorang perempuan Kush. Kata mereka: ‘Sungguhkah TUHAN berfirman dengan perantaraan Musa saja? Bukankah dengan perantaraan kita juga Ia berfirman?’” Miryam dan Harun tidak secara langsung menyerang ajaran atau keputusan Musa, tetapi mencela pernikahannya dengan perempuan Kush. Namun, sesungguhnya bukan itu akar masalahnya. Akar masalahnya diungkapkan dalam ayat 2 yaitu: kecemburuan terhadap kedekatan Musa dengan Tuhan. Mereka bertanya, Bukankah dengan perantaraan kita juga Ia berfirman? Ini bukan soal perempuan Kush, tapi soal status, pengakuan, dan rasa tidak puas terhadap peran yang Tuhan tetapkan bagi mereka. Kecemburuan rohani sering menjadi jebakan halus yang bisa menyamar sebagai kepedulian, tapi pada dasarnya adalah pemberontakan terhadap kehendak Tuhan. Di hadapan Tuhan, kerendahan hati untuk menerima peran yang dibereikan-Nya kepada kita mereupakan sikap beriman yang paling murni. Kedua, pemimpin sejati tidak balas dendam. Dalam ayat 13 Musa berseru kepada Tuhan: Ya Allah, sembuhkanlah kiranya dia. Dalam ayat 3 dikatakan bahwa Musa adalah orang yang paling lembut hatinya di seluruh bumi. Ketika dicela, Musa tidak membela diri. Pada saat Tuhan menghukum Miryam, dan Harun memimta pertolongannya, Musa berseru memohon kesembuhannya. Mengampuni bukanlah kelemahan, tapi kekuatan sejati seorang pemimpin yang mengenal hati Tuhan. Pemimpin sejati tidak menginginkan pembalasan, tetapi pemulihan. Kelembutan tidak sama dengan ketidaktegasan, tapi kasih yang terus mengalir walaupun dikhianati. Kelembutan sejati lahir dari jiwa yang tahu bahwa pembela sejati adalah Tuhan sendiri. Salam, doa dan berkat Allah Tritunggal Mahakudus menyertaimu semua (Norbert Labu, Pr). |
Lihat Detail |
8 |
2025-08-06 |
Kerajaan yang tak akan musnah |
Selamat pagi dan salam jumpa dalam Sari Firman: Memotivasi Diri, Rabu, 06 Agustus 2025. Pesta Yesus Menampakkan Kemuliaan-Nya. Kerajaan yang tak akan musnah (Daniel 7:9-10,13-14). 7:9 Sementara aku terus melihat, takhta-takhta diletakkan, lalu duduklah Yang Lanjut Usianya pakaian-Nya putih seperti salju dan rambut-Nya bersih seperti bulu domba kursi-Nya dari nyala api dengan roda-rodanya dari api yang berkobar-kobar 7:10 suatu sungai api timbul dan mengalir dari hadapan-Nya seribu kali beribu-ribu melayani Dia, dan selaksa kali berlaksa-laksa berdiri di hadapan-Nya. Lalu duduklah Majelis Pengadilan dan dibukalah Kitab-kitab. 7:13 Aku terus melihat dalam penglihatan malam itu, tampak datang dengan awan-awan dari langit seorang seperti anak manusia datanglah ia kepada Yang Lanjut Usianya itu, dan ia dibawa ke hadapan-Nya. 7:14 Lalu diberikan kepadanya kekuasaan dan kemuliaan dan kekuasaan sebagai raja, maka orang-orang dari segala bangsa, suku bangsa dan bahasa mengabdi kepadanya. Kekuasaannya ialah kekuasaan yang kekal, yang tidak akan lenyap, dan kerajaannya ialah kerajaan yang tidak akan musnah. |
Dua pokok permenungan yang dapat diambil dari bacaan hari ini, Daniel 7:13–14: Anak Manusia di atas awan. Dalam ayat 13 dikatakan: “Aku terus melihat dalam penglihatan malam itu, tampak datang dengan awan-awan dari langit seorang seperti anak manusia datanglah ia kepada Yang Lanjut Usianya itu, dan ia dibawa ke hadapan-Nya.” Daniel melihat sosok “seperti Anak Manusia” datang bersama awan-awan ke hadapan Yang Lanjut Usianya. Ini merupakan sebuah gambaran yang dalam dan penuh makna. Awan dalam Alkitab sering menandakan kehadiran Yang Ilahi. Yang Ilahi datang dalam sosok “Anak Manusia”, sebuah sebutan yang melekat pada kerendahan, kemanusiaan, dan penderitaan. Sebab di dalam kerajaan Allah, kekuatan diukur dari kelembutan yang penuh ketaatan. Kemuliaan ilahi justru diberikan kepada pribadi yang sepenuhnya mengosongkan diri demi kebenaran dan kasih. Dalam dunia yang memuja kekuatan kasar dan pencitraan, Tuhan menobatkan yang lemah-lembut, yang setia, dan yang rendah hati. Kedua, Kerajaan yang tak akan musnah. Dalam ayat 14 dikatakan: “Kekuasaannya ialah kekuasaan yang kekal, yang tidak akan lenyap, dan kerajaannya ialah kerajaan yang tidak akan musnah.” Di tengah berbagai kerajaan dunia yang datang dan pergi—dengan ambisi politik, kekuasaan militer, dan kejayaan sementara—Daniel melihat satu kerajaan yang tidak akan lenyap, tidak akan musnah, dan melampaui batas bangsa, suku, dan bahasa. Kerajaan ini abadi dalam waktu dan meluas tanpa batas ruang dan budaya. Kerajaan “Anak Manusia” ini bertumbuh dalam kesetiaan, pengorbanan, dan kebenaran. Salam, doa dan berkat Allah Tritunggal Mahakudus menyertaimu semua (Norbert Labu, Pr). |
Lihat Detail |
9 |
2025-08-07 |
Air kehidupan di tengah ketidakpercayaan |
Selamat pagi dan salam jumpa dalam Sari Firman: Memotivasi Diri, Kamis, 07 Agustus 2025. Air kehidupan di tengah ketidakpercayaan (Bilangan 20:1-13). 20:1 Kemudian sampailah orang Israel, yakni segenap umat itu, ke padang gurun Zin, dalam bulan pertama, lalu tinggallah bangsa itu di Kadesh. Matilah Miryam di situ dan dikuburkan di situ. 20:2 Pada suatu kali, ketika tidak ada air bagi umat itu, berkumpullah mereka mengerumuni Musa dan Harun, 20:3 dan bertengkarlah bangsa itu dengan Musa, katanya: Sekiranya kami mati binasa pada waktu saudara-saudara kami mati binasa di hadapan TUHAN! 20:4 Mengapa kamu membawa jemaah TUHAN ke padang gurun ini, supaya kami dan ternak kami mati di situ? 20:5 Mengapa kamu memimpin kami keluar dari Mesir, untuk membawa kami ke tempat celaka ini, yang bukan tempat menabur, tanpa pohon ara, anggur dan delima, bahkan air minumpun tidak ada? 20:6 Maka pergilah Musa dan Harun dari umat itu ke pintu Kemah Pertemuan, lalu sujud. Kemudian tampaklah kemuliaan TUHAN kepada mereka. 20:7 TUHAN berfirman kepada Musa: 20:8 Ambillah tongkatmu itu dan engkau dan Harun, kakakmu, harus menyuruh umat itu berkumpul katakanlah di depan mata mereka kepada bukit batu itu supaya diberi airnya demikianlah engkau mengeluarkan air dari bukit batu itu bagi mereka dan memberi minum umat itu serta ternaknya. 20:9 Lalu Musa mengambil tongkat itu dari hadapan TUHAN, seperti yang diperintahkan-Nya kepadanya. 20:10 Ketika Musa dan Harun telah mengumpulkan jemaah itu di depan bukit batu itu, berkatalah ia kepada mereka: Dengarlah kepadaku, hai orang-orang durhaka, apakah kami harus mengeluarkan air bagimu dari bukit batu ini? 20:11 Sesudah itu Musa mengangkat tangannya, lalu memukul bukit batu itu dengan tongkatnya dua kali, maka keluarlah banyak air, sehingga umat itu dan ternak mereka dapat minum. 20:12 Tetapi TUHAN berfirman kepada Musa dan Harun: Karena kamu tidak percaya kepada-Ku dan tidak menghormati kekudusan-Ku di depan mata orang Israel, itulah sebabnya kamu tidak akan membawa jemaah ini masuk ke negeri yang akan Kuberikan kepada mereka. 20:13 Itulah mata air Meriba, tempat orang Israel bertengkar dengan TUHAN dan Ia menunjukkan kekudusan-Nya di antara mereka. |
Dua pokok permenungan yang dapat diambil dari bacaan hari ini, Bilangan 20:1–13: Pertama, air kehidupan di tengah ketidakpercayaan. Dalam ayat 11 dan 12 dikatakan: “Sesudah itu Musa mengangkat tangannya, lalu memukul bukit batu itu dengan tongkatnya dua kali [...] maka keluarlah banyak air. Namun TUHAN berfirman: Karena kamu tidak percaya kepada-Ku [...] kamu tidak akan membawa jemaah ini masuk ke negeri yang akan Kuberikan kepada mereka. Pada ayat 11 Musa memukul bukit batu dengan tongkat duka kali dan mengeluarkan air. Musa berhasil mengeluarkan air untuk memenuhi kebutuhan bangsa Israel dan ternak mereka. Tampaknya ada hasil yang luar biasa, namun tindakan Musa itu tidak sepenuhnya menunjukkan ketaatannya kepada Tuhan: Musa memukul batu, padahal Allah memintanya hanya berkata kepada batu itu untuk mengeluarkan air (ayat 8).Keberhasilan lahiriah tidak selalu berarti perkenanan Yang Ilahi. Sering dalam hidup, kita mengira bahwa hasil akhir membenarkan cara kita. Tuhan menuntut sesuatu yang lebih dalam yaitu ketaatan penuh dan penghormatan terhadap kekudusan-Nya. Kedua, keletihan pemimpin dapat berdampak pada komunitas. Pada ayat 10 Musa berkata kepada orang Israel: “Dengarlah kepadaku, hai orang-orang durhaka, apakah kami harus mengeluarkan air bagimu dari bukit batu ini?” Di tengah duka karena kematian Miryam (ayat 1) dan tekanan besar dari bangsa yang terus bersungut-sungut, Musa dan Harun tampak letih secara emosional dan rohani. Pada di titik kelelahan inilah mereka tergelincir bukan hanya dalam tindakan, tapi juga dalam sikap hati yaitu mereka mengambil kemuliaan bagi diri sendiri (kami harus mengeluarkan air) dan tidak memuliakan Tuhan di hadapan umat. Tuhan pun marah karena kekudusan-Nya diabaikan. Tuhan berkata: “Karena kamu tidak percaya kepada-Ku dan tidak menghormati kekudusan-Ku di depan mata orang Israel, itulah sebabnya kamu tidak akan membawa jemaah ini masuk ke negeri yang akan Kuberikan kepada mereka (ayat 12). Musa dan Harun tidak diijinkan masuk ke dalam tanah terjanji. Kelelahan rohani sepemimpin rohani dapat berdampak pada seluruh komunitas. Di saat paling lemah, Musa lupa bahwa dia hanyalah alat di tangan Tuhan dan bukan sumber. Salam, doa dan berkat Allah Tritunggal Mahakudus menyertaimu semua (Norbert Labu, Pr). |
Lihat Detail |
10 |
2025-08-08 |
Keselamatan adalah inisiatif Allah |
Selamat pagi dan salam jumpa dalam Sari Firman: Memotivasi Diri, Jumat, 08 Agustus 2025. Keselamatan adalah inisiatif Allah (Ulangan 4:32-40). 4:32 Sebab cobalah tanyakan, dari ujung langit ke ujung langit, tentang zaman dahulu, yang ada sebelum engkau, sejak waktu Allah menciptakan manusia di atas bumi, apakah pernah terjadi sesuatu hal yang demikian besar atau apakah ada pernah terdengar sesuatu seperti itu. 4:33 Pernahkah suatu bangsa mendengar suara ilahi, yang berbicara dari tengah-tengah api, seperti yang kaudengar dan tetap hidup? 4:34 Atau pernahkah suatu allah mencoba datang untuk mengambil baginya suatu bangsa dari tengah-tengah bangsa yang lain, dengan cobaan-cobaan, tanda-tanda serta mujizat-mujizat dan peperangan, dengan tangan yang kuat dan lengan yang teracung dan dengan kedahsyatan-kedahsyatan yang besar, seperti yang dilakukan TUHAN, Allahmu, bagimu di Mesir, di depan matamu? 4:35 Engkau diberi melihatnya untuk mengetahui, bahwa Tuhanlah Allah, tidak ada yang lain kecuali Dia. 4:36 Dari langit Ia membiarkan engkau mendengar suara-Nya untuk mengajari engkau, di bumi Ia membiarkan engkau melihat api-Nya yang besar, dan segala perkataan-Nya kaudengar dari tengah-tengah api. 4:37 Karena Ia mengasihi nenek moyangmu dan memilih keturunan mereka, maka Ia sendiri telah membawa engkau keluar dari Mesir dengan kekuatan-Nya yang besar, 4:38 untuk menghalau dari hadapanmu bangsa-bangsa yang lebih besar dan lebih kuat dari padamu, untuk membawa engkau masuk ke dalam negeri mereka dan memberikannya kepadamu menjadi milik pusakamu, seperti yang terjadi sekarang ini. 4:39 Sebab itu ketahuilah pada hari ini dan camkanlah, bahwa Tuhanlah Allah yang di langit di atas dan di bumi di bawah, tidak ada yang lain. 4:40 Berpeganglah pada ketetapan dan perintah-Nya yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, supaya baik keadaanmu dan keadaan anak-anakmu yang kemudian, dan supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu untuk selamanya. |
Dua pokok permenungan yang dapat diambil dari bacaan hari ini, Ulangan 4:32–40: Pertama, mengembalikan rasa kagum pada anugerah yang ajaib. Dalam ayat 32-33 Musa berkata kepada bangsa Israel: “Cobalah tanyakan... apakah pernah terjadi sesuatu hal yang demikian besar... Pernahkah suatu bangsa mendengar suara ilahi... dan tetap hidup?” Musa mengingatkan bangsa Israel akan pengalaman mereka yang luar biasa. Mereka mendengar suara Allah dari dalam api dan tetap hidup. Suatu pengalaman ilahi yang tak tertandingi dalam sejarah umat manusia. Kini bangsa itu melupakan kedahsyatan campur tangan Tuhan, karena telah menjadi biasa bagi mereka. Mereka berdoa tanpa rasa gentar, mendengar firman tanpa rasa kagum, dan mengalami penyertaan Tuhan tanpa rasa syukur yang mendalam. Melalui bacaan ini setiap orang percaya diundang untuk menghidupkan kembali rasa kagum, agar iman itu bertumbuh menjadi relasi mendalam dengan Tuhan. Kedua, keselamatan adalah inisiatif Allah. Dalam ayat 34 dan 37 Musa berkata: “Pernahkah suatu allah mencoba datang untuk mengambil baginya suatu bangsa dari tengah-tengah bangsa lain... seperti yang dilakukan TUHAN, Allahmu, bagimu...Karena Ia mengasihi nenek moyangmu dan memilih keturunan mereka...” Dalam kedua ayat ini, Musa menjelaskan bahwa Allah-lah yang datang mengejar manusia, karena cinta-Nya terhadap manusia. Keselamatan merupakan inisiatif penuh dari Allah. Allah yang memilih, memanggil, menyelamatkan, dan menyertai mereka karena kasih-Nya semata. Kenyataan bahwa Allah yang berinisiatif menyelamatkan kita menyadarkan kita untuk membangun relasi cinta dengan Allah sebagai tanggapan cinta, rasa syukur dan sikap penuh percaya kepada Allah. Salam, doa dan berkat Allah Tritunggal Mahakudus menyertaimu semua (Norbert Labu, Pr). |
Lihat Detail |