Selamat pagi dan salam jumpa dalam Sari Firman: Memotivasi Diri, Kamis, 27 Maret 2025. Jalan menuju kebahagiaan (Yeremia 7:23-28). 7:23 Hanya yang berikut inilah yang telah Kuperintahkan kepada mereka: Dengarkanlah suara-Ku, maka Aku akan menjadi Allahmu dan kamu akan menjadi umat-Ku, dan ikutilah seluruh jalan yang Kuperintahkan kepadamu, supaya kamu berbahagia! 7:24 Tetapi mereka tidak mau mendengarkan dan tidak mau memberi perhatian, melainkan mereka mengikuti rancangan-rancangan dan kedegilan hatinya yang jahat, dan mereka memperlihatkan belakangnya dan bukan mukanya. 7:25 Dari sejak waktu nenek moyangmu keluar dari tanah Mesir sampai waktu ini, Aku mengutus kepada mereka hamba-hamba-Ku, para nabi, hari demi hari, terus-menerus, 7:26 tetapi mereka tidak mau mendengarkan kepada-Ku dan tidak mau memberi perhatian, bahkan mereka menegarkan tengkuknya, berbuat lebih jahat dari pada nenek moyang mereka. 7:27 Sekalipun engkau mengatakan kepada mereka segala perkara ini, mereka tidak akan mendengarkan perkataanmu, dan sekalipun engkau berseru kepada mereka, mereka tidak akan menjawab engkau. 7:28 Sebab itu, katakanlah kepada mereka: Inilah bangsa yang tidak mau mendengarkan suara TUHAN, Allah mereka, dan yang tidak mau menerima penghajaran! Ketulusan mereka sudah lenyap, sudah hapus dari mulut mereka.
Renungan :
Dua pokok permenungan yang dapat diambil dari bacaan hari ini, Yeremia 7:23-28 adalah: Pertama, Jalan menuju kebahagiaan. Dalam ayat 23, nabi Yeremia mengingatkan bangsa Israel bahwa mendengarkan suara Tuhan dan mengikuti jalan-jalan Tuhan merupakan jalan menuju kebahagiaan. “Dengarkanlah suara-Ku, maka Aku akan menjadi Allahmu dan kamu akan menjadi umat-Ku, dan ikutilah seluruh jalan yang Kuperintahkan kepadamu, supaya kamu berbahagia!” Dalam kenyataannya, bangsa Israel tidak mendengarkan suara Tuhan dan tidak berjalan pada jalan Tuhan. Mendengarkan berarti menuruti dan melakukan apa yang didengar. Tetapi bangsa itu malah mengikuti rancangannya sendiri dan kedegilan hati mereka. Hal ini menyebabkan mereka hidup dalam kesulitan. Kedua, lenyapnya ketulusan. Bangsa yang degil hati itu, dikatakan sebagai bangsa yang telah lenyap ketulusannya. “Lenyapnya ketulusan” merupakan ungkapan yang menggambarkan ketiadaan hati nurani dan kedegilan hati yang konyol. Bangsa yang demikian akan sulit berubah. Mereka akan hidup menurut perut mereka. Salam, doa dan berkat Allah Tritunggal Mahakudus menyertaimu semua (Norbert Labu, Pr).Kembali ke Beranda