Selamat pagi, selamat hari Minggu dan salam jumpa dalam Sari Firman: Memotivasi Diri, Minggu, 5 Oktober 2025. Minggu biasa ke-27. Iman yang bertahan di tengah ketidakadilan. (Habakuk 1:2-3 2:2-4). 1:2 Berapa lama lagi, TUHAN, aku berteriak, tetapi tidak Kaudengar, aku berseru kepada-Mu: Penindasan! tetapi tidak Kautolong? 1:3 Mengapa Engkau memperlihatkan kepadaku kejahatan, sehingga aku memandang kelaliman? Ya, aniaya dan kekerasan ada di depan mataku perbantahan dan pertikaian terjadi. 2:2 Lalu TUHAN menjawab aku, demikian: Tuliskanlah penglihatan itu dan ukirkanlah itu pada loh-loh, supaya orang sambil lalu dapat membacanya. 2:3 Sebab penglihatan itu masih menanti saatnya, tetapi ia bersegera menuju kesudahannya dengan tidak menipu apabila berlambat-lambat, nantikanlah itu, sebab itu sungguh-sungguh akan datang dan tidak akan bertangguh. 2:4 Sesungguhnya, orang yang membusungkan dada, tidak lurus hatinya, tetapi orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya.
Renungan :
Dua pokok permenungan yang dapat diambil dari bacaan pertama hari Minggu ini, Habakuk 1:2–3 dan 2:2–4: Pertama, Iman yang bertahan di tengah ketidakadilan. Dalam bagian pertama yaitu 1:2-3, nabi Habakuk menyuarakan jeritan umat yang bergumul dengan ketidakadilan dan kekerasan. Ia bertanya, Berapa lama lagi, TUHAN? Suatu seruan yang sangat manusiawi, sebuah keputusasaan ketika langit tampak diam terhadap penderitaan. Bukankah kita sering merasa seperti Habakuk? Dunia dipenuhi ketimpangan, kekerasan, dan kekacauan, tetapi Tuhan tampaknya tidak segera bertindak. Kenyataan ini menyingkap luka terdalam manusia: rasa ditinggalkan di tengah penderitaan. Namun, Tuhan tidak membentak atau menolak keluh kesah Habakuk. Sebaliknya, Tuhan menjawab bukan dengan solusi instan, tetapi dengan visi. Tuhan memerintahkan agar penglihatan Habakuk itu dituliskan agar siapa pun dapat membacanya, walaupun mungkin hanya “sambil lalu.” Artinya, harapan yang nyata Tuhan dalam penglihtan itu tidak hanya untuk nabi, tetapi bagi semua yang melintas dalam hidup ini, entah mereka penuh iman atau sedang goyah. Sebab, iman sejati tidak selalu melihat jawaban langsung, tetapi tetap bertahan dengan penuh kepercayaan bahwa janji Tuhan, meski tampak tertunda, tidak akan gagal. Ini bukan iman yang buta, tapi iman yang rela menunggu, iman yang hidup di tengah kekecewaan, namun tidak menyerah pada keputusasaan. Kedua, antara dada yang membusung dan hati yang percaya. Dalam bagian kedua 2:4 dikatakan: “Sesungguhnya, orang yang membusungkan dada, tidak lurus hatinya, tetapi orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya.” Nabi Habakuk menampilkan suatu kontras yang sangat tajam antara orang yang membusungkan dada dan orang yang benar yang hidup oleh percayanya. Membusungkan dada adalah sikap sombong mengandalkan kekuatan sendiri, merasa tahu arah hidup, menuntut jawaban sekarang juga. Sebaliknya, orang benar hidup oleh iman bukan karena ia memiliki semua jawaban, tetapi karena ia bersandar pada Tuhan di tengah ketidaktahuan. Di zaman ini, ketika kecepatan dan kepastian dianggap sebagai keutamaan, hidup oleh iman bisa tampak lemah atau naif. Tapi sesungguhnya, di situlah letak kekuatannya: kepercayaan yang tetap teguh bahkan ketika tidak ada alasan logis untuk tetap berharap. Pertanyaan refleksi yang perlu direnungkan sebagai pilihan hidup setiap hari adalah: apakah saya akan membusungkan dada dan memaksa Tuhan mengikuti jalanku, atau saya akan dengan rendah hati dan percaya bahwa jalan-Nya, walaupun tertunda, adalah jalan yang selalu tepat? Salam, doa dan berkat Allah Tritunggal Mahakudus menyertaimu semua (Norbert Labu, Pr).Kembali ke Beranda