Batas dalam panggilan
...

Batas dalam panggilan

Selamat pagi dan salam jumpa dalam Sari Firman: Memotivasi Diri, Rabu, 13 Agustus 2025. Batas dalam panggilan (Ulangan 34:1-12). 34:1 Kemudian naiklah Musa dari dataran Moab ke atas gunung Nebo, yakni ke atas puncak Pisga, yang di tentangan Yerikho, lalu TUHAN memperlihatkan kepadanya seluruh negeri itu: daerah Gilead sampai ke kota Dan, 34:2 seluruh Naftali, tanah Efraim dan Manasye, seluruh tanah Yehuda sampai laut sebelah barat, 34:3 Tanah Negeb dan lembah Yordan, lembah Yerikho, kota pohon korma itu, sampai Zoar. 34:4 Dan berfirmanlah TUHAN kepadanya: Inilah negeri yang Kujanjikan dengan sumpah kepada Abraham, Ishak dan Yakub demikian: Kepada keturunanmulah akan Kuberikan negeri itu. Aku mengizinkan engkau melihatnya dengan matamu sendiri, tetapi engkau tidak akan menyeberang ke sana. 34:5 Lalu matilah Musa, hamba TUHAN itu, di sana di tanah Moab, sesuai dengan firman TUHAN. 34:6 Dan dikuburkan-Nyalah dia di suatu lembah di tanah Moab, di tentangan Bet-Peor, dan tidak ada orang yang tahu kuburnya sampai hari ini. 34:7 Musa berumur seratus dua puluh tahun, ketika ia mati matanya belum kabur dan kekuatannya belum hilang. 34:8 Orang Israel menangisi Musa di dataran Moab tiga puluh hari lamanya. Maka berakhirlah hari-hari tangis perkabungan karena Musa itu. 34:9 Dan Yosua bin Nun penuh dengan roh kebijaksanaan, sebab Musa telah meletakkan tangannya ke atasnya. Sebab itu orang Israel mendengarkan dia dan melakukan seperti yang diperintahkan TUHAN kepada Musa. 34:10 Seperti Musa yang dikenal TUHAN dengan berhadapan muka, tidak ada lagi nabi yang bangkit di antara orang Israel, 34:11 dalam hal segala tanda dan mujizat, yang dilakukannya atas perintah TUHAN di tanah Mesir terhadap Firaun dan terhadap semua pegawainya dan seluruh negerinya, 34:12 dan dalam hal segala perbuatan kekuasaan dan segala kedahsyatan yang besar yang dilakukan Musa di depan seluruh orang Israel.

Renungan :

Dua pokok permenungan yang dapat diambil dari bacaan hari ini, Ulangan 34:1–12: Pertama, batas dalam panggilan. Dalam ayat 4 Tuhan berfirman kepada Musa: “Aku mengizinkan engkau melihatnya dengan matamu sendiri, tetapi engkau tidak akan menyeberang ke sana.” Musa diizinkan melihat Tanah Perjanjian dari puncak Pisga sebuah pemandangan penuh harapan, namun sekaligus penuh duka. Musa memimpin umat Israel selama 40 tahun melalui padang gurun, tetapi Musa tidak ikut menyeberangi Yordan untuk sampai ke Tanah Perjanjian. Pengalaman Musa ini memperlihatkan tentang batas-batas dalam panggilan hidup manusia. Ada yang dipanggil hanya untuk memulai, membentuk, dan mempersiapkan generasi selanjutnya dan yang lain dipanggil untuk menyelesaikan apa yang telah dimulai itu. Dalam dunia yang mengagungkan pencapaian akhir, kisah Musa adalah pengingat bahwa keberhasilan sejati tidak selalu berarti mencapai garis akhir, tetapi setia dalam tugas yang dipercayakan sampai akhir. Musa melihat janji Tuhan digenapi dari kejauhan. Pengalaman yang sama sering dialami oleh para guru, orang tua, pelayan, atau pemimpin. Mereka yang menabur dan generasi setelahnya menikmati panenannya. Ini bukan kegagalan, tapi kemenangan dalam ketaatan. Kedua, kepergian tanpa tanda, warisan tanpa pusaka. Dalam ayat 6 dikatakan: “Dan dikuburkan-Nyalah dia di suatu lembah di tanah Moab... dan tidak ada orang yang tahu kuburnya sampai hari ini.” Musa, nabi terbesar Israel, meninggal dan dikuburkan oleh Tuhan sendiri di tempat yang tak diketahui oleh siapa pun. Tidak ada tugu, tidak ada pusara untuk dipuja. Tapi warisan Musa justru tak tergantikan. Musa dikenal Tuhan berhadapan muka. Ayat ini mengungkapkan tentang makna kepemimpinan sejati yang tidak mencari ketenaran atau pengakuan publik. Dalam dunia yang haus akan nama besar dan peninggalan fisik, Musa meninggalkan warisan yang tak terlihat, tetapi hidup dalam generasi penerusnya. Setelah kematiannya, kepemimpinan diteruskan oleh Yosua, bukan dengan gemuruh atau kehebohan, tapi melalui penumpangan tangan dalam kesetiaan. Kematian Musa mengajarkan bahwa kemuliaan pemimpin sejati bukan pada tugu yang ditinggalkan, tetapi pada kehidupan yang penuh ketaatan, kesetiaan pada kehendak Tuhan dalam dirinya. Ketika Tuhan sendiri yang menguburkan seorang hamba-Nya, itu menjadi simbol keintiman dan kehormatan yang tidak dapat diberikan oleh manusia mana pun. Salam, doa dan berkat Allah Tritunggal Mahakudus menyertaimu semua (Norbert Labu, Pr).

Kembali ke Beranda